Pagi ini hari begitu kelam, mendung dan gerimis mewarnai langit dan alam Jakarta, Sang Ibu Kota. Dingin masuk dalam relung kulit kaki yang tak terlindungi sepatu kaos kaki. Karena pagi ini harus mengenakan sandal Eiger yang kurang lebih setahun ini menemani dan sampai kantorpun kaki kotor terkena beceknya jalanan.
Sepanjang perjalanan banyak hal yang ku lihat kawan, yang sangat menajdi perhatianku ada beberapa hal yang ingin kuceritakan di pagi ini, ya pagi ini.. Hal pertama yang ku lihat seorang “bocah” perempuan yang diboncengi di motor hendak menuju ke sekolahnya, ku rasa dia masih duduk di Sekolah Dasar ekelas 1 atau 2 “Mungkin”. Gerimis yang turun membasahi jalan turut pula membasahi bocah itu meski hanya sedikit. Bocah itu sempat-sempatnya memainkan tangannya pada air yang tergenang di atas kain penutup bak mobil pick up itu. Aku pun tersenyum dibalik saputangan yang menutupi sebagian wajahku guna mengurangi polusi udara yang terhirup. Bisikku pada diri dan hati, “lugu sekali bocah ini, ada saja keisengan yang dia lakukan” dan saling-menyalip mobil dilakukan pengendara motor pada sedikit ruang antara mobil begitupun denganku.
Kemudian tiba-tiba berhenti di perjalanan untuk sejenak bukan karena macet atau memang ingin berhenti, tapi ternyata seorang polisi dengan badan yang tinggi-besar sedang menyetop semua kendaraan untuk mempersilahkan beberapa wanita tua yang hendak menyeberang dan polisi itu sengan tersenyum kepada pemilik kendaraan yang diberhentikan.. Bisikku pada diri dan hati, mungkin ia polisi yang ramahd an murah senyum. Hmm….
Ketika ditikungan pas sekali depan stasiun kereta api jatinegara dengan bangunan tuanya dan macet ayng selalu setiap lewat sana, hampir saja seorang tua dengan topinya di tengah gerimis yang memeluk Koran-koran yang tebal dengan berbagai nama media berjalan menyeberang memperhatikan sandal jepitnya yang putus tertabrak olehku, Alhamdulillah spontanku “mengerem” masih jauh darinya. Tiba-tiba bisikku kembali pada diri da hati, teringat syair seorang penyanyi terkenal di tanah air yang syair-syairnya mengandung makna sangat dalam. Ya, aku teringat sebuaah syair “Si Budi Kecil”, Ini sepenggal syairnya yang ku ingat..
Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
Di simpang jalan tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan Koran
Menahan dingin tanpa jas hujan
Di simpang jalan tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan Koran
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
Benar-benar dalam sekali makna syair ini kawan. Tapi yang kulihat bukanlah Si Budi Kecil Pancoran, tapi Si Tua Jatinegara. Teringatkupun pada ayat “Sesungguhnya mata (lahir) mereka tiada buta, tetapi hati yang dalam dada merekalah yang buta….” (Surat Al Hajj, XXII, ayat 46).
Kawan andai saja kita mau menggunakan mata dan hati kita dalam perjalan hidup ini, akan banyak hikmah yang mampu kita ambil dari mereka dan alam bahkan dedaunan kering yang berguguranpun menginspirasiku untuk menulis syair.
Jakarta, 12 Jan 10
Pengembara Masa
arys.agusman@yahoo.co.id